Norman Edwin (1955 - 1992) adalah petualang
alam legendaris dan wartawan Kompas. Penggiat kegiatan alam terbuka di Indonesia
mengenang Norman Edwin sebagai salah satu pelopor Ekspedisi besar ke beberapa
gunung ternama dunia. Ia banyak menulis tentang kegiatan penjelajahan alam di
sejumlah majalah dan surat kabar pada tahun 1980-an.
Beliau wafat pertengahan April 1992 saat mendaki Gunung
Aconcagua (6.959 meter di atas permukaan laut) di perbatasan Argentina – Chile bersama
rekannya, Didiek Samsu Wahyu Triachdi. Pendakian tersebut adalah bagian dari
seri pendakian oleh Mapala UI dalam ekspedisi Seven Summit atau
pendakian tujuh puncak dunia (Aconcagua, Cartensz Pyramid di Papua [4.884
mdpl], McKinley di Alaska (Amerika Serikat) [6.194 mdpl], Kilimanjaro di Tanzania
(Afrika) [5.894 mdpl], dan Elbrus di Rusia [5.633 mdpl]).
Norman Edwin sosok pecinta olahraga petualang yg
pernah ada di Indonesia, di kenal sebagai pribadi yg pemberani dan suka
menolong oleh keluarga dan teman-temannya
Norman Edwin sosok pecinta olahraga petualang yg
pernah ada di Indonesia, di kenal sebagai pribadi yg pemberani dan suka
menolong oleh keluarga dan teman temannya sesama jurnalist Kompas, tempat
terakhirnya bekerja. Norman tewas di usia 37 tahun bersama rekan satu teamnya
Didiek Samsu Wahyu Triachdi saat pendakian Puncak Aconcagua (6969m), pegunungan
yang membentang sepanjang perbatasan Chile – Argentina, saat itu ia tergabung
dalam Seven Summit Expedition 1992 – Mapala UI. Didiek juga tercatat sebagai
wartawan di Majalah Jakarta Jakarta. Indonesia berduka, musibah menimpa
Expedisi Seven Summit pada pertengahan April 1992 merenggut dua orang pendaki
terbaiknya, Norman Edwin dan Didiek Samsu Wahyu Triachdi. Media nasional dan
international banyak meliput kejadian tewasnya dua pendaki ini. Norman saat itu
memimpin Team Pecinta Alam Universitas Indonesia yang tergabung di Mapala UI
dalam upayanya mendaki Puncak Aconcagua 6959-mtr Chile. Gunung yg disebut juga
‘The Devil’s Mountain’ karena faktor cuacanya tak bisa diprediksikan, sering
kali badai salju melanda pegunungan selama berhari hari. Puncaknya dijadikan
tujuan karena menjadi salah satu Puncak Tertinggi dalam Expedisi Tujuh Puncak
Dunia Mapala UI.
Berbekal pengetahuan dalam Penelusuran gua,
Pendakian Gunung, Pelayaran, Arung Jeram serta sejumlah pengalaman Rescue di
Irian Jaya, Kalimantan, Africa, Canada bahkan Himalaya, membentuk kecepatan dan
kekuatan fisik pada dirinya yang telah bergabung di Mapala UI sejak tahun 1977.
Sampai akhirnya terpilih menjadi Leader dalam Expedisi ini bersama Didiek, Rudy
“Becak” Nurcahyo, Mohamad Fayez and Dian Hapsari, satu satunya wanita dalam
team tersebut.
Sebetulnya banyak meragukan kemampuan Norman,
jauh hari sebelum Expedisi ini di mulai, namun pengalamannya selama 15 tahun
dalam berpetualang serta menghadapi berbagai bahaya, diyakini membuatnya tetap
berangkat. Saat expedisi berlangsung, badai salju menghantam Team ini dan
akhirnya merenggut duet pendaki ini. Jenazah Didiek adalah yang pertama
ditemukan pada tanggal 23 Maret atas laporan beberapa pendaki negara lain yang
kebetulan melihat mereka berdua terakhir di ketinggian 6400m, beberapa ratus
meter lagi sebelum Puncak.
Dilaporkan pula saat itu, kondisi keduanya
terlihat sangat kritis, beberapa jari Norman terkena Frosbite (Mati Beku karna
Dingin) dan Didiek menderita Snow Blindness (Buta Salju) akibat pancaran sinar
matahari yang berlebihan, memantul di hamparan salju dataran tinggi.
Kemungkinan hal ini sangat mendekati karena Google (Kacamata Salju) yang
dipakai Didiek rusak berat. Jenazah Norman ditemukan beberapa hari kemudian dan
langsung diterbangkan ke Jakarta pada tanggal 21 April 1992. Spekulasi merebak
melalui media massa bahwa kegagalan mereka juga diakibatkan karena minimnya
pelaralatan yang dibawa. Aconcagua terpilih setelah Mapala UI merencanakan
Expedisi Tujuh Puncak Dunia lainnya yaitu Cartenz Pyramid (4,884 meters) di
Irian Jaya; McKinley (6,194 meters) di Alaska, Amerika Serikat; Kilimanjaro
(5,894 meters) in Tanzania, Afrika; dan Elbrus (5,633 meters) di Uni Soviet,
(sekarang Rusia).
Setahun kemudian setelah tragedi ini, Mapala UI
yang status keanggotaannya berlaku seumur hidup ini, mencoba mengirim kembali
dua anggota lainnya yaitu Tantyo Bangun dan Ripto Mulyono untuk menyelesaikan
pendakian sekelas Expedisi Aconcagua ke Vinson Massif (4,887 meters) di Kutub
Selatan. Dan satu lagi Puncak Everest di Himalaya dengan nama Team Expedisi
Universitas Indonesia, namun sayang kegagalan juga menimpa team ini.
Dua kegagalan rupanya tidak menyurutkan semangat
Mapala UI, karna puncak terakhirnya tetap dijadikan target bagi Expedisi
Gabungan selanjutnya yang terdiri dari Mapala UI, Koppassus dan Wanadri. ‘Kami
berusaha melakukan pendakian gabungan ke Everest tahun 1997 dan sukses, dua
anggota team dari prajurit Koppassus yaitu Asmujiono dan Misirin berhasil
mencapai Puncak Everest.’ ujar Rudy “Becak” Nurcahyo anggota Indonesian
National Team to Everest yang juga kehilangan jarinya karna Frosbite di
Expedisi Aconcagua.
‘Kami mencoba yang tebaik untuk mewujudkan itu
semua.. dan saya percaya Norman dan Didiek pun akan tersenyum disana melihat
keberhasilan Team Everest ini. walaupaun setelah tahun 1997, Indonesia dilanda
krisis ekonomi kemudian masa reformasi yang tak lama berselang. Keadaan ini
otomatis ini menghambat Expedisi-expedisi selanjutnya yang telah direncanakan..
tambahnya.
Bagi istri Norman, Karina serta Melati putrinya,
sosok hangat dan eksentrik Norman akan tetap menjadi kenangan yang takkan
terlupakan. Semasa hidup, Melati selalu diajak serta dalam kegiatan alam bebas
yang digeluti ayahnya itu, termasuk perjalanan ke Irian Jaya saat ia masih
kecil. ‘Norman menjadi seorang petualang sejati dan sedikit bandingannya
diantara pendaki-pendaki yang ada sekitar tahun 1970-80, dan Didiek adalah
teman dekatnya.
Ia tunjukkan rasa hormatnya kepada wanita dan
yakin bahwa wanita dapat mengerjakan sesuatu yang lebih baik daripada pria,
apalagi menyangkut faktor keselamatan, contohnya Penulusan Gua’ papar Karina
yang dulu juga aktif dalam kegiatan alam bebas sekembalinya dari Australia dan
mengambil kuliah lagi jurusan Arkeologi di Universitas Indonesia.
‘Norman pernah mengatakan, aktivis alam wanita
cenderung lebih tenang, tidak mudah panik dan dapat mengatasi situasi darurat
jika dibandingkan dengan pria. Bagi saya ia sangat humoris dan mempunyai
semangat hidup yang tinggi. Begitu pula yg rasakan Melati, sifat ayahnya ini
menurun kepadanya walaupun ia masih berusia remaja. Janganlah kita mencoba
menaklukkan ganasnya alam, tapi belajarlah untuk menaklukkan ego serta
mengetahui batasan diri kita sendiri, faktor ini adalah yang terpenting jika
ingin menekuni olahraga beresiko tinggi’ ungkap Karina yang dulu juga ikut
dalam team di Expedisi Cartenz Irian Jaya tahun 1981 dan saat ini telah
menyelesaikan program Doctoralnya di Australian National University.
Norman dan Didiek telah tiada, namun spiritnya
kuat meresap di hati para pecinta olahraga alam bebas Indonesia. Penghargaan
patut mereka terima atas keberanian dan semangat pantang menyerah, sehingga
dapat dijadikan contoh bagi petualang petualang muda lainnya yang masih ada.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar